Seiring berkembangnya teknologi, informasi bisa mudah didapat. Tak menutup kemungkinan seseorang 'membanjiri' dirinya dengan beragam informasi. Nah, bagaimana kaitan hal itu dengan kesehatan jiwa seseorang?
Menanggapi hal ini, dr Nova Riyanti Yusuf SpKJ atau dr Noriyu mengatakan orang-orang sekarang lebih banyak mendapat dikte eksternal. Sebab, tak sedikit orang yang tidak memagari dirinya dengan memfilter arus informasi yang masuk.
dr Noriyu mengungkapkan, penyakit manusia modern tanpa disadari yakni apa yang dilihat akhirnya memformasi identitas dirinya sendiri. Dalam artian seseorang mengidentifikasi dirinya dengan orang. Misalnya saja, ingin memiliki barang seperti kepunyaan artis A. Akhirnya yang terjadi adalah dikte eksternal.
"Itu siksaan bukan cuma fisik tapi psikologis. Karena apa? terjadi distrosi akibat arus informasi yang berlebihan. Dulu kita nyalain TV hanya karena kita membutuhkan info. Sekarang, kadang kita nggak butuh tapi kita membanjiri diri kita dengan derasnya informasi. Kita cukupi aja dosisnya. Cukup deh bentar lihat twitter, path, atau sosmed lainnya, nggak terus-terusan," papar dr Noriyu.
Lebih lanjut, dr Noriyu menekankan pentingnya melakukan filter informasi yang didapat. Kemudian, jujurlah dengan apa yang memang Anda butuhkan.
Misalnya saja ingin membuka email, cukuplah membuka email dan membalasnya. Jika tak perlu, tidak usah lanjut membuka sosmed lainnya hingga akhirnya Anda keasyikan dengan segala info yang didapat dan akhirnya lupa dengan apa yang semestinya dilakukan.
"Quality time untuk diri kita jadi hyperreality. Niatnya bangun pagi mau jogging atau jalan pagi tapi buka email, akhirnya buka semua sosmed, kebablasan," ujar wanita yang juga menjadi Ketua Panja UU Kesehatan Jiwa Komisi IX DPR RI (2012-2014) ini.
Sosial Media dan Depresi
Terkait penggunaan sosial media, dr Noriyu mengatakan hal itu bisa terkait dengan risiko depresi. Sebab, ada hal-hal yang diinginkan tetapi sebenarnya hal itu bukan target orang yang bersangkutan.
dr Noriyu mencontohkan, dulu penyanyi diidolakan karena sebatas lagunya yang enak didengar. Tapi sekarang, dengan derasnya informasi termasuk di sosial media, seorang penggemar bisa tahu si idola pergi ke mana, mengenakan tren fashion apa sehingga terjadilah identifikasi diri pada si idola.
"Kemudian dia mikir saya pengen kayak idola saya dan tahu nggak akan kesampaian, itu bisa jadi stressor psikososial," kata dr Noriyu.
Dalam pertemanan, meskipun status sosial ekonomi seseorang berbeda, asal keduanya bisa saling menghargai dan menerima satu sama lain apa adanya, menurut dr Noriyu tidak masalah. Sebab, salah satu indikator kesehatan jiwa yang baik yakni ketika seseorang dapat menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri juga orang lain.
"Tapi kalau teman kita yang high class ini nggak respect dengan kita, ngapain temenan sama dia. Saat dia nggak bisa lihat apa adanya kita, dia merendahkan kita ya nggak usah temenan. Karena bagaimanapun lingkungan berpengaruh pada diri kita," pungkas dr Noriyu.
Menanggapi hal ini, dr Nova Riyanti Yusuf SpKJ atau dr Noriyu mengatakan orang-orang sekarang lebih banyak mendapat dikte eksternal. Sebab, tak sedikit orang yang tidak memagari dirinya dengan memfilter arus informasi yang masuk.
dr Noriyu mengungkapkan, penyakit manusia modern tanpa disadari yakni apa yang dilihat akhirnya memformasi identitas dirinya sendiri. Dalam artian seseorang mengidentifikasi dirinya dengan orang. Misalnya saja, ingin memiliki barang seperti kepunyaan artis A. Akhirnya yang terjadi adalah dikte eksternal.
"Itu siksaan bukan cuma fisik tapi psikologis. Karena apa? terjadi distrosi akibat arus informasi yang berlebihan. Dulu kita nyalain TV hanya karena kita membutuhkan info. Sekarang, kadang kita nggak butuh tapi kita membanjiri diri kita dengan derasnya informasi. Kita cukupi aja dosisnya. Cukup deh bentar lihat twitter, path, atau sosmed lainnya, nggak terus-terusan," papar dr Noriyu.
Lebih lanjut, dr Noriyu menekankan pentingnya melakukan filter informasi yang didapat. Kemudian, jujurlah dengan apa yang memang Anda butuhkan.
Misalnya saja ingin membuka email, cukuplah membuka email dan membalasnya. Jika tak perlu, tidak usah lanjut membuka sosmed lainnya hingga akhirnya Anda keasyikan dengan segala info yang didapat dan akhirnya lupa dengan apa yang semestinya dilakukan.
"Quality time untuk diri kita jadi hyperreality. Niatnya bangun pagi mau jogging atau jalan pagi tapi buka email, akhirnya buka semua sosmed, kebablasan," ujar wanita yang juga menjadi Ketua Panja UU Kesehatan Jiwa Komisi IX DPR RI (2012-2014) ini.
Sosial Media dan Depresi
Terkait penggunaan sosial media, dr Noriyu mengatakan hal itu bisa terkait dengan risiko depresi. Sebab, ada hal-hal yang diinginkan tetapi sebenarnya hal itu bukan target orang yang bersangkutan.
dr Noriyu mencontohkan, dulu penyanyi diidolakan karena sebatas lagunya yang enak didengar. Tapi sekarang, dengan derasnya informasi termasuk di sosial media, seorang penggemar bisa tahu si idola pergi ke mana, mengenakan tren fashion apa sehingga terjadilah identifikasi diri pada si idola.
"Kemudian dia mikir saya pengen kayak idola saya dan tahu nggak akan kesampaian, itu bisa jadi stressor psikososial," kata dr Noriyu.
Dalam pertemanan, meskipun status sosial ekonomi seseorang berbeda, asal keduanya bisa saling menghargai dan menerima satu sama lain apa adanya, menurut dr Noriyu tidak masalah. Sebab, salah satu indikator kesehatan jiwa yang baik yakni ketika seseorang dapat menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri juga orang lain.
"Tapi kalau teman kita yang high class ini nggak respect dengan kita, ngapain temenan sama dia. Saat dia nggak bisa lihat apa adanya kita, dia merendahkan kita ya nggak usah temenan. Karena bagaimanapun lingkungan berpengaruh pada diri kita," pungkas dr Noriyu.
Sumber : health.detik.com
Supermap - Peta Sukses Kekuatan Mind Mapping
Pusat Pelatihan Pendidikan dan SDM Profesional
Mind Mapping - Super Memory - Speed Reading - Goal Setting
Pusat Pelatihan Pendidikan dan SDM Profesional
Mind Mapping - Super Memory - Speed Reading - Goal Setting