Pendidikan yang kaku membuat mayoritas
anak Indonesia tidak terlalu berani berekspresi. Padahal, seni bisa
menjadi pelepasan emosi yang positif dan besar manfaatnya bagi
perkembangan anak-anak di masa depan. Hal ini menjadi topik dalam
diskusi di Pusat Kebudayaan Amerika.
Konsep Art Therapy atau terapi seni
dikenalkan oleh psikolog keluarga Monty Prawiratirta Satiadarma, pada
tahun 1990-an. Menurut Monty, bentuk terapi seni bagi anak-anak bisa
dikenalkan dalam beragam bentuk; terutama menggambar dengan krayon dan
pensil berwarna atau untuk anak di bawah tiga tahun (batita) melalui
permainan lilin warna (clay).
Usai diskusi dan workshop “Art Therapy”
di @Amerika (Pusat Kebudayaan Amerika) Jakarta, Monty Satiadarma
menjelaskan tidak ada batasan umur, kapan seorang anak sudah boleh
dikenalkan pada terapi seni. Salah satu peserta bahkan ada yang usianya
masih 20 bulan. “Art therapy bisa dikenalkan sejak 2 tahunan lah, tapi
tadi ada yang baru 20 bulan. Tetapi motorik halusnya sudah halus,
sudah bisa meremas lilin (clay) bahkan tadi bilang mau bikin kue
katanya. Memang untuk anak-anak bawah tiga tahun terapi ini baik untuk
motorik halus,” demikian ujar psikolog lulusan Universitas Indonesia
ini.
Menurut Monty, peraih gelar Doktor
untuk hipnoterapi klinis dari American Institute of Hypnotherapy,
Irvine, California, pada tahun 2000, terapi seni di Indonesia tidak
terlalu dominan, karena keseragaman pola pendidikan. Padahal, otak kiri
dan kanan anak harus dibuat seimbang.
Banyak stereotip anak yang berkembang
di kalangan anak-anak Indonesia.“Anak Jakarta melakukan aktivitas seni
iya, dimana-mana sekolah begitu. Cuma sekolah di Indonesia lebih
mengutamakan pendidikan matematis. Jadi kalau anak itu berkembang di
bidang seni tidak ada yang banyak perduli. Baru belalangan ini saja
perkembangan artisitik dan musikal dikedepankan, itupun masih terbatas.
Di Jepang kalau semester pendek anam-anak belajar main musik, di
Amerika ya jangan ditanya. Dimana-mana ada. Kalau di Indonesia,
semester pendek diisi dengan belajar berhitung,” ujar Monty.
Terapi seni juga digunakan untuk
menyembuhkan trauma anak-anak di Aceh pasca tsunami. Dr. Monty
Satiadarma diminta oleh UNFPA (United Nations Population Fund, Badan
PBB yang mengawasi kesejahteraan perempuan dan anak-anak di dunia)
untuk datang ke lokasi pengungsi anak-anak.
Menurut Monty, saat itu metode yang
digunakan adalah menggambar dan mendongeng. “Kebanyakan gambar bencana,
yang kami sebut analisis apa yang dialami. Setelah sekian lama
dilakukan pelatihan-pelatihan menggambar seperti itu, dari yang semula
mereka (anak-anak) itu menggambar bencana sekarang mereka menggambar
kampung nelayan. Ada perubahan yang cukup bagus, yang semula ‘terancam
secara emosional’ (emotional threatens), menjadi ‘menerima’
(acceptance), sekarang “penuh harap” (hopeful),” paparnya.
Sejak 2004 hingga 2005 proses pemulihan
trauma anak-anak di Aceh dilakukan terus menerus. Hasil analisis ini
sempat dipresentasikan di Fukushima, Jepang, baru-baru ini. Bedanya,
kata Monty, di Jepang terapi menggambar dipadukan dengan musik.
Salah satu peserta workshop, pasangan
suami istri Miko dan Irene mengaku diskusi dan workshop terapi seni
sangat baik dan bermanfaat. Mereka datang bersama putera mereka,
Gamaliel, usia 2 tahun. Sejauh ini, Irene mengaku anaknya sudah
tertarik pada musik. “Pengenalan warna memang sudah saya kenalkan, cuma
memang belum persis seperti yang Pak Monty bilang, karena dia masih
kecil juga. Saya sebetulnya lebih suka dia main piano (nanti) tetapi
kalau lihat anaknya kelihatannya lebih tertarik pada drum. Memang saya
banyak dengar musik sewaktu hamil,” demikian penjelasan Irene.
Sumber : pikiran-rakyat.com
Diposting kembali Supermap Mindmap Learning Center
www.supermap.asia
0 comments:
Posting Komentar