Anak dengan autisme memerlukan penanganan khusus karena memiliki
hambatan dalam berkomunikasi dan berinteraksi. Ketika memasuki masa
puber, gangguan autisme yang dialami bisa menjadi lebih parah karena
pengaruh hormon dan ketidakseimbangan emosi. Lalu bagaimana
mengatasinya?
"Menerangkan bahwa badan perempuan dan laki-laki itu berbeda, itu yang pertama. Gunakan visual, jadi pakai gambar. Ini gambar anak laki-laki ini gambar anak perempuan, tidak sama," kata Gayatri Pamoedji, ketua Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI) dalam launching video pendidikan 'Terapi Okupasi' dan 'Terapi Wicara' di Jl. Brawijaya XIII No 9 Prapanca, Jakarta Selatan, Selasa (26/3/2013).
Setelah mengenalkan perbedaan anatomi antara tubuh laki-laki dan perempuan, tahap kedua adalah mengajarkan bahwa ada bagian tubuh yang tidak boleh dipegang. Praktiknya, gambar bagian tubuh tertentu ditutup lalu dikasih tanda 'tidak' yang menandakan tidak boleh dipegang, misalnya bagian dada hingga lutut pada wanita.
Gambar yang digunakan ini bisa menggunakan gambar majalah ataupun kalender. Tahap berikutnya, anak diajarkan bahwa yang hanya boleh memegang adalah orang-orang terdekat dan terpercaya. Untuk memudahkan pemahaman, bisa ditempelkan foto bapaknya, ibunya ataupun dokter.
Apabila anak sudah bisa berkomunikasi, Gayatri menyarankan untuk menjelaskan proses perkembangan manusia lewat gambar anak kecil, lalu remaja hingga dewasa. Dengan cara ini, anak diberitahu perubahan tubuh yang akan dialami ketika puber, remaja hingga dewasa. Tujuannya agar anak tidak kaget dengan perubahan tubuhnya.
"Jadi dikasih lihat, ini lho perubahannya. Nanti kamu tumbuh rambut, kamu kemudian suaranya berubah, payudaranya berubah, keluar jenggot dan lain-lain supaya anak-anak ini juga tahu, habis dari sini arahnya ke sini. Jadi selalu pakai visual, karena anak-anak ini belajar lebih mudah dengan visual dibanding dengan audiotorik," terang Gayatri.
Apabila anak memiliki ketertarikan kepada lawan jenis, Gayatri juga menerapkan metode serupa agar anak memahami batas keakraban, yaitu dengan gambar. Biasanya ia membuat gambar lingkaran di tengah anak, artinya orang yang boleh dipegang adalah bapak, ibu, kakak dan adik serta ditempelkan foto lagi.
Lingkaran berikutnya yang lebih luar ditempati oleh pembantu, suster, dokter, guru dan lain-lain. Tiap lingkaran menentukan siapa dan bagian mana saja yang boleh dipegang. Semakin luar, derajat keakraban dengan seseorang semakin berkurang dan bagian yang boleh dipegang juga semakin sedikit.
Tak cukup dengan gambar, Gayatri yang memiliki seorang putra dengan autis ini mengaku bahwa pembagian peran dengan suami amat diperlukan. Berkat strategi ini, putranya yang kini berusia 23 tahun sudah bisa mandiri dan berinteraksi layaknya kebanyakan orang pada umumnya.
"Begitu mencukur atau urusan lain di kamar mandi, itu bagian bapaknya. Tapi cara mendekati seorang perempuan, itu ibunya. Jadi saya bilang, kalau itu begini, sebaiknya begini. Tidak ada yang aneh, asal kita mau sabar," terang Gayatri.
Upaya Gayatri ini berbuah manis. Sempat bertahun-tahun meninggalkan Indonesia demi mendapat perawatan yang tepat bagi buah hati, kini Gayatri bisa banyak mencurahkan waktunya membesarkan yayasan MPATI yang ia pimpin untuk mengkampanyekan penanganan anak autis yang baik kepada sesama orang tua anak dengan autis.
Sumber : health.detik.com
Diposting kembali Supermap Mindmap Learning Center
"Menerangkan bahwa badan perempuan dan laki-laki itu berbeda, itu yang pertama. Gunakan visual, jadi pakai gambar. Ini gambar anak laki-laki ini gambar anak perempuan, tidak sama," kata Gayatri Pamoedji, ketua Masyarakat Peduli Autis Indonesia (MPATI) dalam launching video pendidikan 'Terapi Okupasi' dan 'Terapi Wicara' di Jl. Brawijaya XIII No 9 Prapanca, Jakarta Selatan, Selasa (26/3/2013).
Setelah mengenalkan perbedaan anatomi antara tubuh laki-laki dan perempuan, tahap kedua adalah mengajarkan bahwa ada bagian tubuh yang tidak boleh dipegang. Praktiknya, gambar bagian tubuh tertentu ditutup lalu dikasih tanda 'tidak' yang menandakan tidak boleh dipegang, misalnya bagian dada hingga lutut pada wanita.
Gambar yang digunakan ini bisa menggunakan gambar majalah ataupun kalender. Tahap berikutnya, anak diajarkan bahwa yang hanya boleh memegang adalah orang-orang terdekat dan terpercaya. Untuk memudahkan pemahaman, bisa ditempelkan foto bapaknya, ibunya ataupun dokter.
Apabila anak sudah bisa berkomunikasi, Gayatri menyarankan untuk menjelaskan proses perkembangan manusia lewat gambar anak kecil, lalu remaja hingga dewasa. Dengan cara ini, anak diberitahu perubahan tubuh yang akan dialami ketika puber, remaja hingga dewasa. Tujuannya agar anak tidak kaget dengan perubahan tubuhnya.
"Jadi dikasih lihat, ini lho perubahannya. Nanti kamu tumbuh rambut, kamu kemudian suaranya berubah, payudaranya berubah, keluar jenggot dan lain-lain supaya anak-anak ini juga tahu, habis dari sini arahnya ke sini. Jadi selalu pakai visual, karena anak-anak ini belajar lebih mudah dengan visual dibanding dengan audiotorik," terang Gayatri.
Apabila anak memiliki ketertarikan kepada lawan jenis, Gayatri juga menerapkan metode serupa agar anak memahami batas keakraban, yaitu dengan gambar. Biasanya ia membuat gambar lingkaran di tengah anak, artinya orang yang boleh dipegang adalah bapak, ibu, kakak dan adik serta ditempelkan foto lagi.
Lingkaran berikutnya yang lebih luar ditempati oleh pembantu, suster, dokter, guru dan lain-lain. Tiap lingkaran menentukan siapa dan bagian mana saja yang boleh dipegang. Semakin luar, derajat keakraban dengan seseorang semakin berkurang dan bagian yang boleh dipegang juga semakin sedikit.
Tak cukup dengan gambar, Gayatri yang memiliki seorang putra dengan autis ini mengaku bahwa pembagian peran dengan suami amat diperlukan. Berkat strategi ini, putranya yang kini berusia 23 tahun sudah bisa mandiri dan berinteraksi layaknya kebanyakan orang pada umumnya.
"Begitu mencukur atau urusan lain di kamar mandi, itu bagian bapaknya. Tapi cara mendekati seorang perempuan, itu ibunya. Jadi saya bilang, kalau itu begini, sebaiknya begini. Tidak ada yang aneh, asal kita mau sabar," terang Gayatri.
Upaya Gayatri ini berbuah manis. Sempat bertahun-tahun meninggalkan Indonesia demi mendapat perawatan yang tepat bagi buah hati, kini Gayatri bisa banyak mencurahkan waktunya membesarkan yayasan MPATI yang ia pimpin untuk mengkampanyekan penanganan anak autis yang baik kepada sesama orang tua anak dengan autis.
Sumber : health.detik.com
Diposting kembali Supermap Mindmap Learning Center