Setiap hari puluhan anak-anak itu tampak riang dan aktif. Mereka berkumpul di sebuah bangunan sederhana di sudut Kota Magelang, Jawa Tengah. Mereka adalah anak-anak penyandang autis yang menempuh pendidikan di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita, Magelang, Jawa Tengah. Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita merupakan satu-satunya sekolah yang khusus menampung anak-anak autis di eks-Karesidenan Kedu.
Akan tetapi, pada tahun 2012 ini, sekolah tersebut akan diminta oleh Pemerintah Kota Magelang melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan sekolah Pendidikan Anak Usai Dini (PAUD).
Akan tetapi, pada tahun 2012 ini, sekolah tersebut akan diminta oleh Pemerintah Kota Magelang melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk dijadikan sekolah Pendidikan Anak Usai Dini (PAUD).
"Sekolah ini memang berstatus pinjam dari Dinas Pendidikan Kota Magelang," ujar Puji Astuti, Kepala Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Kota Magelang, saat ditemui Kompas.com, beberapa waktu lalu.
Puji mengisahkan, pendirian Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita pada 21 Juli 2002 berawal dari keprihatinannya terhadap anak-anak penyandang autis di Magelang dan sekitarnya yang tidak memiliki tempat khusus untuk mereka.
"Anak autis memang tidak cocok masuk SLB karena kecerdasan normal di atas rata-rata. Sedangkan di sekolah reguler mereka juga ditolak karena tidak bisa menerima intruksi dan perilaku yang cenderung seenaknya. Ini yang mendorong kami mendirikan sekolah ini," cerita Puji.
Berkat usaha Puji dan teman-temannya, pihak Dinas Pendidikan setempat bersedia meminjamkan tempat meski sangat sederhana dan memberikan izin operasional pada 16 Maret 2009.
"Waktu itu kami senang sekali pemerintah bersedia membantu kami meski pun hanya dipinjami gedung ini. Sekarang gedung akan diminta lagi, kami tidak bisa berbuat apa-apa, " ujarnya.
Dari pengamatan Kompas.com, ruang kelas berukuran 7x 8 meter tersebut memang sangat sederhana. Di dalam salah satu ruangan juga tampak enam ruang kecil yang disekat. Fungsinya sebagai tempat pembelajaran peserta didik satu murid dan satu guru. Di sana terdapat meja dan kursi kecil sebagai pelengkap pembelajaran siswa, mainan untuk anak berusia antara 6 hingga 10 tahun seperti alat hitung, angklung kecil dan lainnya.
Tidak hanya itu, eternitnya juga sudah terlihat rapuh, sehingga bila hujan akan mudah ditembus air hujan yang mengakibatkan lantai menjadi bocor. Bahkan, di antara kaca ventilasi di sisi selatan kelas sudah terlihat pecah.
"Murid kami selalu bertambah tiap ajaran baru, mereka tidak hanya berasal dari Kota Magelang saja, melainkan juga Kabupaten Pekalongan, Batang, Temanggung, bahkan Yogyakarta," terang Puji.
Keberadaan sekolah yang terletak di Komplek Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Jalan Pasar Kebonpolo nomor 442 itu sudah dirasakan manfaatnya oleh para orangtua penyandang autis. Nyono, salah satu orangtua murid mengatakan, anaknya menempuh pendidikan sejak tahun 2005. Namun, baru pada tahun ini ia menyekolahkannya di sekolah inklusi (sekolah berkebutuhan khusus) di Muntilan Kabupaten Magelang.
"Tapi meski begitu, saya tetap membawa anak saya ke Bina Anggita ini. Karena sistem pengajaranya, satu siswa diajari oleh satu guru. Kalau di Muntilan tidak. Selain itu, murid juga diberi pembelajaran khusus seperti pengembangan pribadi, sensorik intelegensi dan terapi bicara ," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Magelang, Margiyono Dwi Yuwono mengatakan, pihaknya tidak bermaksud untuk meminta gedung sekolah tersebut. Margiyono mengaku hanya akan merenovasi gedung. Renovasi gedung, katanya, yang digunakan untuk tempat kegiatan belajar mengajar anak berkebutuhan khusus itu semata-mata ditujukan untuk memperbaiki sarana pendidikan yang ada di wilayah ini. Mengingat ruangan yang juga digunakan untuk sekolah SDN Wates 5 tersebut kondisinya sudah memprihatikan dan perlu segera direnovasi.
"Tidak ada maksud kami meminta gedung yang digunakan untuk sekolah autis. Gedung itu sudah tidak layak, atap bocor di mana-mana, kalau ambruk kan malah jadi masalah, untuk itu kita akan perbaiki lebih dulu, dan sementara mereka (sekolah autis) akan kita carikan tempat lain," katanya.
Namun demikian pihaknya belum bisa memastikan ke mana dan gedung apa yang akan digunakan sementara oleh Bina Anggita.
Puji mengisahkan, pendirian Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita pada 21 Juli 2002 berawal dari keprihatinannya terhadap anak-anak penyandang autis di Magelang dan sekitarnya yang tidak memiliki tempat khusus untuk mereka.
"Anak autis memang tidak cocok masuk SLB karena kecerdasan normal di atas rata-rata. Sedangkan di sekolah reguler mereka juga ditolak karena tidak bisa menerima intruksi dan perilaku yang cenderung seenaknya. Ini yang mendorong kami mendirikan sekolah ini," cerita Puji.
Berkat usaha Puji dan teman-temannya, pihak Dinas Pendidikan setempat bersedia meminjamkan tempat meski sangat sederhana dan memberikan izin operasional pada 16 Maret 2009.
"Waktu itu kami senang sekali pemerintah bersedia membantu kami meski pun hanya dipinjami gedung ini. Sekarang gedung akan diminta lagi, kami tidak bisa berbuat apa-apa, " ujarnya.
Dari pengamatan Kompas.com, ruang kelas berukuran 7x 8 meter tersebut memang sangat sederhana. Di dalam salah satu ruangan juga tampak enam ruang kecil yang disekat. Fungsinya sebagai tempat pembelajaran peserta didik satu murid dan satu guru. Di sana terdapat meja dan kursi kecil sebagai pelengkap pembelajaran siswa, mainan untuk anak berusia antara 6 hingga 10 tahun seperti alat hitung, angklung kecil dan lainnya.
Tidak hanya itu, eternitnya juga sudah terlihat rapuh, sehingga bila hujan akan mudah ditembus air hujan yang mengakibatkan lantai menjadi bocor. Bahkan, di antara kaca ventilasi di sisi selatan kelas sudah terlihat pecah.
"Murid kami selalu bertambah tiap ajaran baru, mereka tidak hanya berasal dari Kota Magelang saja, melainkan juga Kabupaten Pekalongan, Batang, Temanggung, bahkan Yogyakarta," terang Puji.
Keberadaan sekolah yang terletak di Komplek Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Jalan Pasar Kebonpolo nomor 442 itu sudah dirasakan manfaatnya oleh para orangtua penyandang autis. Nyono, salah satu orangtua murid mengatakan, anaknya menempuh pendidikan sejak tahun 2005. Namun, baru pada tahun ini ia menyekolahkannya di sekolah inklusi (sekolah berkebutuhan khusus) di Muntilan Kabupaten Magelang.
"Tapi meski begitu, saya tetap membawa anak saya ke Bina Anggita ini. Karena sistem pengajaranya, satu siswa diajari oleh satu guru. Kalau di Muntilan tidak. Selain itu, murid juga diberi pembelajaran khusus seperti pengembangan pribadi, sensorik intelegensi dan terapi bicara ," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Magelang, Margiyono Dwi Yuwono mengatakan, pihaknya tidak bermaksud untuk meminta gedung sekolah tersebut. Margiyono mengaku hanya akan merenovasi gedung. Renovasi gedung, katanya, yang digunakan untuk tempat kegiatan belajar mengajar anak berkebutuhan khusus itu semata-mata ditujukan untuk memperbaiki sarana pendidikan yang ada di wilayah ini. Mengingat ruangan yang juga digunakan untuk sekolah SDN Wates 5 tersebut kondisinya sudah memprihatikan dan perlu segera direnovasi.
"Tidak ada maksud kami meminta gedung yang digunakan untuk sekolah autis. Gedung itu sudah tidak layak, atap bocor di mana-mana, kalau ambruk kan malah jadi masalah, untuk itu kita akan perbaiki lebih dulu, dan sementara mereka (sekolah autis) akan kita carikan tempat lain," katanya.
Namun demikian pihaknya belum bisa memastikan ke mana dan gedung apa yang akan digunakan sementara oleh Bina Anggita.
Sumber : kompas.com
Diposting kembali Supermap Mindmap Learning Center
0 comments:
Posting Komentar