Penyanyi nyentrik, Lady Gaga, batal
menggelar konser di Jakarta pada 3 Juni kemarin. Kiki, 12 tahun, merasa
sangat kecewa. Padahal ia sudah merogoh tabungannya untuk membeli tiket
konser seharga Rp 465 ribu. Itu pun dengan tambahan Rp 100 ribu dari
ibunya. Sang ibu bisa mengerti perasaan anaknya karena, dulu ketika
remaja, ia mengidolakan penyanyi sejenis, Madonna.
Setelah mendapat kabar bahwa konser batal, Kiki terus mendapat dukungan
dan pengertian dari ibunya, Renata, 43 tahun. Sikap sang ibu yang
selalu mendukung anaknya ini membuatnya nyaman. “ Saya pikir wajar
remaja memiliki idola, ” kata manajer sebuah bank swasta itu, “ supaya
dia belajar hidup harus balance, setiap manusia memiliki sisi liar”.
Hal
itu berbeda dengan Kirana, 38 tahun. Ibu rumah tangga ini sangat marah
ketika mengetahui putrinya, Audrey, mengidolakan sang Mama Monster . Ia
melarang Audrey menonton konser. Sekadar mendengarkan lagu-lagunya pun
dilarang. ”Ustad saya bilang Lady Gaga berpengaruh buruk ke anak,”
ujarnya.
Menurut
dia, anaknya yang berusia 12 tahun itu harus mengidolakan tokoh yang
lebih positif. Penyanyi yang berpenampilan sensual dengan lirik-lirik
lagu provokatif tidak cocok menjadi idola. Apalagi Lady Gaga mendukung
dan mengkampanyekan pernikahan sesama jenis. ”Tidak pantas menjadi
idola,” ucap Kirana. Karena itu, ketika mengetahui konser dibatalkan,
ia langsung sujud syukur dan mengadakan pengajian bersama.
Psikolog
anak, Seto Mulyadi, mengatakan, usia anak dan remaja sangat wajar
memiliki idola. Hal itu bisa karena idolanya baik atau memiliki kesamaan
tertentu dengan anak. “Bisa juga karena sang idola sangat populer,”
kata Kak Seto ini. Namun di usia itu, anak belum bisa membedakan antara
yang baik dan buruk untuk kehidupannya kelak. Ia cenderung meniru tokoh
idolanya.
Kalau
anak meniru sisi positif tokoh idolanya, tentu tidak menjadi masalah.
Namun kalau ia meniru sisi negatifnya dan cenderung berperilaku tidak
baik, orang tua harus mewaspadainya, tidak perlu melarang secara
frontal. Seto menganjurkan orang tua untuk mengajak diskusi anaknya dari
hati ke hati ihwal idola. ”Biarkan anak menyimpulkan sendiri apa yang
positif dan negatif dari idolanya, ” ujarnya.
Seperti
pendekatan Renata kepada Kiki, ia dengan terbuka mengatakan bahwa dulu
mengidolakan Madonna. Di era 1980-an, penyanyi itu bersikap sama seperti
Lady Gaga sekarang, bernyanyi dengan lirik dan aksi provokatif. Gereja
Katolik Roma sampai mengecam video klipnya yang berjudul Like A Prayer
pada 1989, belum lagi dengan kehidupan di luar panggungnya yang
sensasional dan terus disorot media.
Namun
Madonna, menurut Renata, bisa sangat kreatif mengemas aksi panggungnya.
”Sama seperti Lady Gaga, ” katanya. Banyak aksi kedua penyanyi itu
yang memiliki nilai artistik tinggi, belum lagi totalitasnya terhadap
pekerjaan. Mereka selalu ingin sempurna dan menghibur penonton. Renata
mengatakan, sikap seperti itu yang masih jarang ada di penyanyi lokal
dan patut diapresiasi.
Larangan
secara frontal justru bisa mematikan kreativitas anak. ”Itu namanya
robotisasi, ” kata Seto. Anak jadi tidak bisa berpendapat dan tidak
diajak menyadari soal nilai kehidupan. Si anak bisa memberontak dan
cenderung berperilaku negatif. Kalau susah melakukan diskusi, dia
menyarankan orang tua memberikan tokoh idola pengganti yang lebih baik.
Perkataan
dari satu pihak saja tidak bisa menjadi pegangan orang tua dalam
mendidik anaknya. Ia mencontohkan, hanya dengan mendengar perkataan sang
ustad, ada remaja yang memilih menjadi pengantin bom bunuh diri.
Lebih baik lagi jika orang tua bisa menjadi panutan bagi anaknya. Namun
hal itu tentunya tak mudah di tengah kehidupan sekarang ini ketika orang
tua lebih banyak meninggalkan anaknya di rumah.
Sumber : tempo.co
Diposting kembali Supermap Mindmap Learning Center
0 comments:
Posting Komentar