Salah satu tujuan psikotest adalah untuk
mengetahui berbagai potensi yang dimiliki oleh setiap individu yang
tidak terobservasi secara langsung (Wikipedia). Psikotest dapat
dilakukan pada berbagai tingkat usia, baik pada orang dewasa maupun
anak-anak. Dengan diketahuinya potensi-potensi yang tersembunyi ini,
diharapkan kepribadian atau kemampuan seseorang dapat disesuaikan dengan
potensi-potensi yang dimiliki. Jika ada sifat-sifat atau hal-hal
kurang baik yang bisa ditimbulkan, bisa dilakukan antisipasi
sebelumnya, dengan demikian dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan
atau perbaikan yang diperlukan.
Pada perkembangannya, psikotest
dilakukan untuk tujuan yang bermacam-macam, yang paling umum dilakukan
di Indonesia adalah untuk seleski tenaga kerja, penentuan minat studi
(khususnya untuk anak-anak Sekolah Menengah Atas, baik umum maupun
kejuruan), bahkan sudah diterapkan untuk seleksi masuk sekolah dasar.
Hal ini sah-sah saja dilakukan, karena setiap orang atau
lembaga-lembaga baik pemerintahan maupun swasta memiliki kebijakan
masing-masing.
Pertanyaannya, apakah cara seperti ini
merupakan cara yang paling benar atau setidaknya efektif untuk mencapai
tujuan-tujuan perusahaan atau lembaga atau sekolah? Hal ini tentu saja
merupakan sesuatu yang masih bisa diperdebatkan. Mengapa hal ini masih
merupakan sesuatu yang diperdebatkan? Karena kalau psikotest ini
merupakan cara yang terbaik, tentu saja seluruh perusahaan atau lembaga
di seluruh dunia, atau sebagian besar negara di dunia atau
setidak-tidaknya di negara-negara maju yang menjadi acuan kemajuan
dunia saat ini, pasti selalu menggunakan psikotest untuk berbagai
kegiatan yang sudah disebutkan di atas.
Sebut saja salah satu contoh negara
maju, misalkan Amerika Serikat (AS). Penulis tidak mengatakan bahwa di
negara-negara maju tersebut tidak pernah diadakan psikotest, tetapi
yang penulis ketahui, psikotest yang dilakukan tidak ditujukan seperti
psikotest yang dilakukan di Indonesia. Sebagai contoh, psikotest pada
anak dilakukan untuk mengetahui kelainan-kelainan yang dapat menggangu
pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Atau untuk mengetahui
intelligence quotient (IQ) seseorang. Tetapi semua ini tidak ditujukan
untuk menghalangi seseorang dari mendapatkan pendidikan. Justru dari
hasil ini jika diketahui ada sesuatu yang istimewa pada diri seorang
anak, maka si anak berhak mendapatkan perhatian khusus baik oleh orang
tua maupun para pendidik di sekolah.
Sebagai seseorang pernah tinggal lama
di AS dalam rangka menjalani pendidikan dan juga ketika masuk dunia
kerja, penulis tidak pernah sekalipun menjalani psikotest baik ketika
masuk sekolah, maupun ketika melamar pekerjaan. Test-test yang
diperlukan adalah test-test yang langsung berkaitan dengan pendidikan
atau bahasa sebagai alat, daftar riwayat hidup dan surat rekomendasi.
Daftar riwayat hidup (termasuk di
dalamnya adalah prestasi di sekolah) bisa dijadikan sebagai bukti
kinerja seseorang yang sudah ia capai selama ini. Sedangkan surat
rekomendasi merupakan pengakuan atau penilaian orang lain terhadap
bukan hanya hasil kerja tetapi juga kepribadian seseorang. Kedua hal
ini, daftar riwayat hidup dan juga surat rekomendasi, merupakan bukti
nyata yang menjelaskan banyak hal tentang potensi yang dimiliki oleh
seseorang.
Bahkan dalam keadaan-keadaan tertentu,
surat rekomendasi bisa memiliki kekuatan yang lebih besar dari
test-test yang dilakukan atau bahkan riwayat hidup sekalipun. Karena
walau bagaimanapun, test-test yang dilakukan pada saat-saat tertentu,
sering kali dipengaruhi oleh kondisi atau psikologi seseorang pada saat
itu. Sehingga tidak bisa dijadikan ukuran kemampuan atau potensi
seseorang secara keseluruhan. Sedangkan daftar riwayat hidup dan surat
rekomendasi merupakan bukti "performance" seseorang dalam jangka waktu
yang cukup lama. Dari situ juga orang lain bisa menilai kekonsistenan
seseorang dalam melakukan pekerjaannya.
Salah satu argumen yang bisa
disampaikan disini adalah bahwa manusia merupakan makhluk yang dinamis,
tidak statis. Sifat dan prilaku manusia bisa mengalami perubahan atau
pasang surut. Bisa dari keadaan buruk menjadi baik, ataupun sebaliknya,
dari keadaan baik ke keadaan buruk. Karena itu, surat rekomendasi
merupakan bukti terkini tentang keadaan seseorang. Dalam membahas surat
rekomendasi ini, kita letakkan dalam konteks yang normal. Bukan dalam
konteks surat rekomendasi yang didasarkan pada kekerabatan atau hal-hal
lain yang tidak sepatutnya.
Yang akhir-akhir ini marak terjadi di
Indonesia adalah penerapan psikotest sebagai syarat masuk sekolah dasar
(SD). Hal ini menurut hemat penulis merupakan sesuatu yang sudah salah
kaprah.
Banyak alasan yang diajukan mengapa
mereka berfikir perlu untuk dilakukan psikotest semacam ini, salah
satunya adalah karena kapasitas sekolah sudah tidak memadai. Kesiapan
anak-anak untuk mengikuti program pendidikan, dan lain-lain. Hal ini
justru sangat berlawanan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Kita
berbicara dalam tatanan anak-anak usia dini, yang masih dalam masa-masa
pertumbuhan dan perkembangan, baik secara fisik maupun mental.
Bagaimana mereka tahu kalau anak-anak ini belum siap untuk mengikuti
program-program sekolah hanya dengan satu test? Apakah mereka juga
sudah mempertimbangkan psikologi si anak pada saat mengikuti test?
Anak-anak sama juga dengan orang dewasa
yang memiliki perasaan "nervous" kalau dihadapkan dengan test atau
ujian. Belum lagi kalau kita berbicara tentang bagaimana pola
pendidikan anak di rumah yang berpengaruh sangat besar terhadap
kepribadian seorang anak. Misalkan saja, apakah anak-anak kita sudah
dibiasakan hidup mandiri sejak dini? Dari cara makan misalnya. Apakah
orang tua di rumah sudah melatih anak makan sendiri sejak usia belum
lagi genap satu tahun? Atau mendidik anak untuk tidur sendiri? Dan
masih banyak lagi lainnya.
Bagi sebagian orang apalagi anak-anak
yang belum terbiasa dengan ujian, mungkin mendengar kata test atau
ujian saja sudah langsung gemetar. Seorang teman saya pernah
memberitahu kepada saya ketika dia ingin memasukkan anaknya ke salah
satu sekolah dasar terpadu, bahwa anaknya harus mengikuti psikotest
yang diadakan oleh sekolah tersebut. Ternyata pada saat itu, ada
beberapa orang anak yang menangis karena tidak mau mengikuti test.
Lalu apakah kemudian kita bisa langsung
menyimpulkan bahwa anak-anak tersebut tidak siap secara mental untuk
mengikuti program-program pendidikan di sekolah berkenaan? Jawabnya
pasti belum tentu. Lalu apakah anak-anak tersebut tidak atau memiliki
potensi diri yang kurang dibandingkan anak-anak lain yang tidak
menangis? Jawabnya sudah pasti belum tentu. Ada lagi cerita seorang ibu
yang juga sedang memasukkan anaknya ke salah satu sekolah dasar swasta
terkenal dengan terlebih dahulu harus mengikuti psikotest.
Si ibu memilih sekolah tersebut untuk
sang anak karena dia menganggap bahwa sekolah itu merupakan salah satu
sekolah favorit. Pada saat test tersebut, Si anak meminta untuk
ditemani ibunya saat mengikuti test tersebut. Tetapi Si ibu dilarang
oleh petugas, yang akhirnya Si anak tersebut menangis. Hasilnya sudah
bisa kita ketahui, kalau Si anak dinyatakan tidak lulus untuk masuk
sekolah tersebut. Padahal selama latihan di rumah, Si anak tidak
menemui banyak kesulitan dalam mengerjakan latihan-latihan. Dengan
demikian Si anakpun gagal masuk ke sekolah yang sangat dia inginkan.
Dengan keadaan demikian, yang
seharusnya si anak bisa dengan suka hati datang ke sekolah dan belajar
dan mengembangkan potensinya, yang terjadi malah sebaliknya, potensi
anak tersebut sudah dikubur sejak dari permulaan. Di AS sendiri
contohnya, penulis tidak pernah melihat ataupun mendengar ada psikotest
yang dilakukan sebagai syarat kemasukan untuk anak-anak tingkat SD,
seperti yang dialami sendiri oleh anak-anak penulis selama belajar pada
tingkat TK dan SD. Bahkan di beberapa sekolah di negara-negara bagian
tertentu di AS, ujian atau test baru diterapkan ketika anak-anak
menginjak kelas tiga SD sebagai bahan evaluasi tahunan.
Adalah tanggung jawab sebuah lembaga
pendidikan untuk mendidik, memfasilitasi dan menumbuh kembangkan
berbagai potensi anak-anak. Kalau ada anak yang berpotensi lebih, maka
potensi itu dikembangkan dan disalurkan dengan sebaik-baiknya. Kalau
ada anak yang memiliki kekurangan, maka kekurangan itu harus segera
ditutupi dan diperbaiki sedini mungkin dengan berbagai cara, dengan
terus diberikan dukungan dan semangat. Siapkan mental mereka dengan
sebaik-baiknya. Jangan pusatkan perhatiannya pada kekurangan dirinya,
namun kita harus berusaha sekuat mungkin untuk bisa melihat potensi
dirinya yang lain, yang mungkin saja tidak dimiliki oleh orang lain.
Adalah sebuah kesalahan yang besar yang dilakukan oleh sebuah lembaga
pendidikan khususnya untuk pendidikan usia dini (pra sekolah, taman
kanak-kanak, dan sekolah dasar) menghambat atau menghalangi seorang
anak untuk mendapatkan pendidikan yang baik.
Sepanjang pengamatan penulis,
sekolah-sekolah yang mengadakan ujian untuk masuk sekolah pada
masa-masa awal usia sekolah, adalah sekolah-sekolah yang oleh
masyarakat dianggap sebagai salah satu lembaga pendidikan yang terbaik,
setidaknya di lingkungan tempat tinggal mereka. Atau mungkin pihak
sekolah itu sendiri merasa, mengaku atau bahkan mengklaim bahwa sekolah
mereka adalah yang terbaik.
Jika keadaannya demikian, bagaimana
mereka berhak mengklaim bahwa sekolah mereka adalah sekolah yang
terbaik, kalau mereka pada prakteknya dengan berbagai dalih berusaha
lari dari tanggung jawab pendidikan itu sendiri. Tidak sepatutnya
anak-anak usia sekolah dasar sudah dituntut untuk bisa ini dan itu.
Sebuah lembaga pendidikan yang baik
adalah lembaga pendidikan yang mampu menjadikan 'sekecil' apapun
potensi yang dimiliki seorang anak menjadi sesuatu yang besar.
Penulis memberi penekanan pada kata
'sekecil', karena pada hakekatnya tidak ada potensi yang kecil, karena
setiap potensi bisa dikembangkan sampai tahap-tahap tertentu. Atau dari
sudut pandang yang lain bisa juga dikatakan bahwa setiap orang
memiliki potensi yang berbeda-beda. Selain itu juga, potensi setiap
orang bisa tampak pada waktu yang berbeda-beda pula antara satu
individu dengan individu yang lain.
Belum lagi jika ditinjau dari segi
hukum atau perundang-undangan. Kita mengenal yang namanya wajib belajar
sembilan tahun, yaitu enam tahun sekolah dasar dan tiga tahun sekolah
menengah pertama.
Hal ini mengandung beberapa pengertian.
Pertama, bahwa anak usia sekolah dasar sampai tingkat menengah pertama
berhak mendapatkan kesempatan belajar dan menjadi tanggung jawab
negara tanpa kecuali. Kedua, hal ini juga berarti bahwa jika ada
sekolah yang menolak seorang anak untuk masuk ke sekolah dasar baik itu
swasta maupun pemerintah dengan alasan karena si anak tidak memiliki
ijazah taman kana-kanak, atau belum bisa menulis dan membaca, maka
orang tua memiliki hak untuk mengajukan masalah ini ke pengadilan.
Karena secara hukum tidak ada ketentuan wajib belajar sebelum tingkat
sekolah dasar, yang ada hanyalah merupakan pilihan.
Realitanya adalah bahwa tidak setiap
orang tua di Indonesia mampu menyekolahkan anak-anak mereka di taman
kanak-kanak yang pada umumnya harus mengeluarkan biaya yang relatif
besar untuk sebagian masyarakat kita. Atau jika pada masa wajib belajar
orang tua tidak memasukkan anaknya ke sekolah, maka si orang tua juga
bisa dikenai masalah hukum seperti yang diterapkan di negara-negara
maju.
Dengan tulisan yang singkat ini,
penulis berharap agar pihak-pihak yang berwenang atau pemerintah bisa
terus-menerus memperbaiki sistem dan perundang-undangan pendidikan kita
untuk sebaik-baik kepentingan masyarakat. Penulis menghimbau agar kita
semua mau terus belajar untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan
ataupun kesalahan-kesalahan kita selama ini.
Jangan sampai kita mengulangi
kesalahan-kesalahan kita yang sudah lalu, apalagi yang menyangkut
dengan pendidikan. Karena yang menjadi korban adalah anak-anak kita
sekarang yang merupakan penerus di masa-masa yang akan datang. Kita
sebagai orang tua, pengajar dan pendidik harus mampu menyerap segala
ilmu yang baik untuk kita berikan ke anak-anak kita, terlepas darimana
datangnya ilmu tersebut. Hal ini berlaku untuk segala jenjang
pendidikan dari tingkat pra sekolah sampai perguruan tinggi.
Penulis:
Kholis Abdurachim Audah, PhD
Adalah pemerhati masalah pendidikan dan riset. Lulusan Auburn University USA dan saat ini mengajar di University of Hail, Saudi Arabia.
Kholis Abdurachim Audah, PhD
Adalah pemerhati masalah pendidikan dan riset. Lulusan Auburn University USA dan saat ini mengajar di University of Hail, Saudi Arabia.
Sumber : health.detik.com
Diposting kembali Supermap Mindmap Learning Center
www.supermap.asia
0 comments:
Posting Komentar