Pakar
pendidikan Universitas Diponegoro Semarang, Prof Eko Budihardjo,
menilai "pelabelan" sekolah favorit sebaiknya dihilangkan karena tidak
sejalan upaya pemerataan kualitas pendidikan. "Adanya
sekolah-sekolah yang dikatakan favorit ini dampaknya kurang baik. Ini
akan mendorong siswa-siswa dengan prestasi tergolong di atas
berbondong-bondong mendaftar ke sekolah favorit," katanya.
Di sisi lain, kata dia,
sekolah-sekolah yang tidak difavoritkan akan terpinggirkan karena
mereka yang mendaftar kebanyakan berprestasi kurang baik atau siswa
yang tidak mampu bersaing di sekolah favorit.
Kalau kondisi seperti itu terus
berlangsung, kata mantan Rektor Undip itu, kualitas pendidikan
antarsekolah akan semakin timpang. Sekolah favorit akan semakin
meningkat kualitasnya, sementara sekolah non-favorit anjlok.
"Sekolah favorit terus berprestasi
karena memiliki `input` siswa yang merupakan bibit-bibit unggul.
Sementara, bagaimana dengan nasib sekolah-sekolah non-favorit yang
tidak kebagian `input` siswa unggul?," katanya.
Eko yang dikenal juga sebagai budayawan
itu mengatakan, perhatian pemerintah daerah yang tidak adil seringkali
justru membuat kondisi ketidakmerataan kualitas pendidikan
antarsekolah di suatu wilayah semakin parah.
Sekolah-sekolah yang diunggulkan, kata
dia, mendapatkan bantuan pendanaan dalam jumlah besar, sementara
sekolah di pinggiran sering terlupakan sehingga membuat sekolah
nonfavorit semakin sulit bersaing.
Karena itu, ia mengharapkan pemerintah
daerah juga turut mendukung penghilangan "label" sekolah favorit, tidak
ada lagi sekolah yang diunggulkan sehingga terjadi pemerataan
siswa-siswa unggul di setiap sekolah.
Ia mencontohkan sistem pendidikan di
Jepang yang mengharuskan siswa mulai jenjang sekolah dasar (SD) hingga
sekolah menengah atas (SMA) menempuh studi di sekolah yang terletak
tidak jauh dari tempat tinggalnya.
"Mulai SD-SMP, siswa diharuskan
berjalan kaki karena jaraknya dekat. Setelah SMA, bolehlah bersepeda
karena sekolahnya agak jauh, tidak sebanyak SD dan SMP. Hampir tak ada
perbedaan kualitas antarsekolah," katanya.
Dengan sistem pendidikan yang diatur
semacam itu, kata dia, tercipta pemerataan kualitas pendidikan
antarsekolah. Baru setelah lulus SMA, siswa diperbolehkan memilih
perguruan tinggi sesuai keinginan mereka.
"Pemerataan kualitas pendidikan ini
harus dipikirkan pemerintah. Dalam lingkup Kota Semarang saja masih
terjadi ketimpangan pendidikan antarsekolah. Apalagi, sekolah di daerah
pelosok dan perbatasan," kata Eko Budiharjo.
Sumber : antaranews.com
Diposting kembali Supermap Mindmap Learning Center
www.supermap.asia
0 comments:
Posting Komentar