Waktu 24 tahun bagi Hartati, perempuan kelahiran Bantul, 3 September 1964, adalah bagian dari perjalanan pengabdian untuk membagi kasih sayang bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus yang selama terpinggirkan dari kehidupan masyarakat normal.
Hartati sudah menghabiskan waktu puluhan tahun untuk mendampingi siswa-siswa sekolah dasar yang kurang beruntung karena memiliki keterbatasan secara fisik dan mental, yakni anak-anak tunagrahita, tunanetra atau tunarungu.
"Saya tidak pernah menyesal, bahkan rasanya sulit meninggalkan tugas yang telah memberikan banyak pengalaman. Selama 24 tahun saya mengajar di sejumlah SD luar biasa di Jawa Timur dan selebihnya di wilayah DI Yogakarta," kata Hartati, yang pertama kali ditempatkan sebagai guru PNS di SD LB Amung Puro Tulungagung Jawa Timur pada tahun 1987.
Hartati sudah menghabiskan waktu puluhan tahun untuk mendampingi siswa-siswa sekolah dasar yang kurang beruntung karena memiliki keterbatasan secara fisik dan mental, yakni anak-anak tunagrahita, tunanetra atau tunarungu.
"Saya tidak pernah menyesal, bahkan rasanya sulit meninggalkan tugas yang telah memberikan banyak pengalaman. Selama 24 tahun saya mengajar di sejumlah SD luar biasa di Jawa Timur dan selebihnya di wilayah DI Yogakarta," kata Hartati, yang pertama kali ditempatkan sebagai guru PNS di SD LB Amung Puro Tulungagung Jawa Timur pada tahun 1987.
Setelah sekian tahun mengajar di SD luar biasa Tulungagung, Hartati kembali ke tanah kelahiran di Bantul Yogyakarta dan ditempatkan di SD Luar Biasa Plered Bantul, dan kini mengajar anak-anak tunanetra di SDLB PGRI Sentolo Kulonprogo Yogyakarta.
Hartati tidak pernah berkeinginan pindah mengajar ke sekolah biasa menghadapi murid-murid normal, justru pengalaman mengajar di SD luar biasa tunadaksa, tunagrahita dan tunanetra mendorongnya untuk meningkatkan ilmunya ke jenjang yang lebih tinggi.
"Awalnya saya mengambil D2 jurusan PLB Tunanetra kemudian dilanjutkan program S1 bidang Psikologi Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Ilmu yang saya dapat itu kemudian saya terapkan dalam kelas untuk membantu murid-murid agar semakin mandiri," kisahnya.
Pengalaman mendidik murid-murid dengan kebutuhan khusus tidak sesulit yang dibayangkan, sebab bila sudah mencoba dan mengalami sendiri, maka berat untuk meninggalkan anak-anak tanpa ada bekal yang bisa mereka bawa.
"Anak-anak ini tidak pernah menginginkan terlahir dalam kondisi kekurangan, maka kami ingin membuat mereka merasa berharga dengan memberikan bekal keterampilan dan ilmu yang semampunya mereka terima," katanya.
Apalagi kebanyakan murid-murid di tempat Hartati mengajar kebanyakan berasal dari keluarga tidak mampu secara ekonomi. Banyak dari orang tua murid yang bekerja sebagai petani upahan, pencari kayu di hutan atau pedagang keliling.
"Untuk makan saja mereka sulit. Kalau datang ke sekolah saya tanya tadai sarapan apa? Murid saya ada yang menjawab `nasi bu?. Lalu saya tanya nasi pakai apa? Jawabnya sangat miris, `ya nasi saja?. `Wong di rumah cuma ada nasi saja," ungkap Hartati saat menggambarkan kesulitan berlapis yang dihadapi murid-muridnya.
Melihat kondisi serba kekurangan dari anak-anak didiknya, Hartati bersama guru-guru di sekolah kemudian mencari solusi untuk bisa memberikan makanan tambahan yang bergizi pada hari-hari tertentu Sekolah tempat Hartati mengajar menjadi salah satu sekolah penerima dana untuk Program Pemberian Makanan Tambahan.
Dana yang tersedia retaif kecil sehingga hanya cukup untuk membeli makanan-makanan ringan seperti kue-kue atau roti. Namun kemudian, guru-guru menyiasati dari anggaran yang ada kemudian mereke "sulap", menjadi makanan berat berupa nasi, sayur dan satu jenis lauk.
"Kami berbagi tugas ada yang menyiapkan nasi, sayuran dan lauk. Tentu saja dana yang kami terima tidak cukup, tetapi dengan ikhlas para guru menyisihkan sedikit dari kantong mereka untuk menambah biaya agar mencukupi," katanya.
Hasilnya, pada hari di mana ada jadwal pemberian makanan tambahan bisa dipastikan ruang kelas seluruhnya dipenuhi siswa.
"Kalau hari biasa ada saja anak yang tidak masuk, karena berbagai alasan. Namun jangan dibayangkan jumlah murid dalam satu kelas seperti layaknya sekolah normal. Dalam satu kelas paling banyak terdiri dari empat hingga lima murid," katanya.
Para guru, merasa senang sekaligus sedih melihat kenyataan banyak murid-murid di sekolah tepat mereka mengajar masih banyak yang hidup dalam kondisi ekonomi pas-pasan, dan masih ditambah dengan kondisi kekurangan fisik dan mental yang dihadapi.
Karena itu, di luar hari yang dijdawalkan untuk pemberian makanan tambahan, guru-guru bergotong royong mengumpulkan uang agar bisa memberikan satu hari lagi pemeberian makanan tambahan ringan, seperti susu atau bubur kacang agar murid-murid rajin datang ke sekolah dan mendapatkan tubuh yang sehat.
Hartati yang memiliki hobi bermusik memiliki cara tersendiri untuk memberikan semangat bagi murid-muridnya bersekolah.
"Biasa anak-anak sulit diajak masuk ke dalam kelas, masih bermain-main terus di halaman meski sudah waktunya belajar. Meski sudah berkali-kali dibujuk untuk masuk kelas, masih ada saja yang senang bermain. Kami bisa maklum, kondisi anak-anak ini," katanya.
Oleh karena itu, Hartati kemudian menerapkan pendekatan yang ternyata berhasil menarik perhatian murid-murid untuk masuk ke kelas, yakni dengan membunyikan musik dari tape recorder .
"Saya bernyanyi dan anak-anak kemudian tertarik asal suara itu dan mereka kemudian mau masuk dan ikut bergembira dan menari. Lama kelamaan saya ajarkan satu dua lagu dan ternyata suara mereka ada yang bagus," ujarnya.
Hartati menyadari tidak mudah mendidik anak-anak berkebutuhan khusus, namun tidak juga terlalu susah. Ia mengatakan, anak-anak berkebutuhan khusus memiliki karakter khusus juga, tidak sama satu anak dengan lainnya.
Pendekatan yang ia lakukan adalah pendekatan individu, namun di atas segalanya adalah kasih sayang. Anak-anak perlu dibuat akrab dengan guru. Jika sudah akrab, mereka menganggap guru sebagai orangtua mereka.
Hartati mengatakan, menjadi pendidik anak-anak berkebutuhan khusus tidak ada dukanya. Bahkan, dalam merawat fasilitas sekolah, ia merasa terbantu oleh keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus ini, karena anak-anak SD LB umumnya sudah berumur, sehingga mereka dapat ikut membantu pekerjaan sekolah seperti menyapu, membersihkan kamar mandi, dan berbagai pekerjaan lainnya yang tidak bisa dikerjakan oleh anak-anak sekolah dasar yang normal.
Hartati menyadari bahwa pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus masih jauh dari harapan. Indikator ini ditunjukkan dengan masih terbatasnya jumlah guru Pendidikan Luar Biasa berstatus pegawai negeri sipil. Kekurangan guru PLB ini, kata Hartati, dibantu oleh keberadaan guru tidak tetap atau guru honorer.
Apa yang menjadi kebanggaan Hartati? "Kalau anak-anak didik saya senang itu yang menjadi kebanggaan saya. Misalnya, anak yang semula tidak mau berkomunikasi, kemudian mau berbicara dengan temannya atau dengan orang lain, ini menjadi kebanggaan saya," katanya.
Mengenai keluarga, Hartati mengatakan, keluarganya sangat mendukung pekerjaannya sebagai guru anak-anak berkebutuhan khusus. Mereka tidak merasa malu, bahkan sering membantu dirinya saat mengunjungi sekolah tempatnya mengajar.
Hartati tidak pernah berkeinginan pindah mengajar ke sekolah biasa menghadapi murid-murid normal, justru pengalaman mengajar di SD luar biasa tunadaksa, tunagrahita dan tunanetra mendorongnya untuk meningkatkan ilmunya ke jenjang yang lebih tinggi.
"Awalnya saya mengambil D2 jurusan PLB Tunanetra kemudian dilanjutkan program S1 bidang Psikologi Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. Ilmu yang saya dapat itu kemudian saya terapkan dalam kelas untuk membantu murid-murid agar semakin mandiri," kisahnya.
Pengalaman mendidik murid-murid dengan kebutuhan khusus tidak sesulit yang dibayangkan, sebab bila sudah mencoba dan mengalami sendiri, maka berat untuk meninggalkan anak-anak tanpa ada bekal yang bisa mereka bawa.
"Anak-anak ini tidak pernah menginginkan terlahir dalam kondisi kekurangan, maka kami ingin membuat mereka merasa berharga dengan memberikan bekal keterampilan dan ilmu yang semampunya mereka terima," katanya.
Apalagi kebanyakan murid-murid di tempat Hartati mengajar kebanyakan berasal dari keluarga tidak mampu secara ekonomi. Banyak dari orang tua murid yang bekerja sebagai petani upahan, pencari kayu di hutan atau pedagang keliling.
"Untuk makan saja mereka sulit. Kalau datang ke sekolah saya tanya tadai sarapan apa? Murid saya ada yang menjawab `nasi bu?. Lalu saya tanya nasi pakai apa? Jawabnya sangat miris, `ya nasi saja?. `Wong di rumah cuma ada nasi saja," ungkap Hartati saat menggambarkan kesulitan berlapis yang dihadapi murid-muridnya.
Melihat kondisi serba kekurangan dari anak-anak didiknya, Hartati bersama guru-guru di sekolah kemudian mencari solusi untuk bisa memberikan makanan tambahan yang bergizi pada hari-hari tertentu Sekolah tempat Hartati mengajar menjadi salah satu sekolah penerima dana untuk Program Pemberian Makanan Tambahan.
Dana yang tersedia retaif kecil sehingga hanya cukup untuk membeli makanan-makanan ringan seperti kue-kue atau roti. Namun kemudian, guru-guru menyiasati dari anggaran yang ada kemudian mereke "sulap", menjadi makanan berat berupa nasi, sayur dan satu jenis lauk.
"Kami berbagi tugas ada yang menyiapkan nasi, sayuran dan lauk. Tentu saja dana yang kami terima tidak cukup, tetapi dengan ikhlas para guru menyisihkan sedikit dari kantong mereka untuk menambah biaya agar mencukupi," katanya.
Hasilnya, pada hari di mana ada jadwal pemberian makanan tambahan bisa dipastikan ruang kelas seluruhnya dipenuhi siswa.
"Kalau hari biasa ada saja anak yang tidak masuk, karena berbagai alasan. Namun jangan dibayangkan jumlah murid dalam satu kelas seperti layaknya sekolah normal. Dalam satu kelas paling banyak terdiri dari empat hingga lima murid," katanya.
Para guru, merasa senang sekaligus sedih melihat kenyataan banyak murid-murid di sekolah tepat mereka mengajar masih banyak yang hidup dalam kondisi ekonomi pas-pasan, dan masih ditambah dengan kondisi kekurangan fisik dan mental yang dihadapi.
Karena itu, di luar hari yang dijdawalkan untuk pemberian makanan tambahan, guru-guru bergotong royong mengumpulkan uang agar bisa memberikan satu hari lagi pemeberian makanan tambahan ringan, seperti susu atau bubur kacang agar murid-murid rajin datang ke sekolah dan mendapatkan tubuh yang sehat.
Hartati yang memiliki hobi bermusik memiliki cara tersendiri untuk memberikan semangat bagi murid-muridnya bersekolah.
"Biasa anak-anak sulit diajak masuk ke dalam kelas, masih bermain-main terus di halaman meski sudah waktunya belajar. Meski sudah berkali-kali dibujuk untuk masuk kelas, masih ada saja yang senang bermain. Kami bisa maklum, kondisi anak-anak ini," katanya.
Oleh karena itu, Hartati kemudian menerapkan pendekatan yang ternyata berhasil menarik perhatian murid-murid untuk masuk ke kelas, yakni dengan membunyikan musik dari tape recorder .
"Saya bernyanyi dan anak-anak kemudian tertarik asal suara itu dan mereka kemudian mau masuk dan ikut bergembira dan menari. Lama kelamaan saya ajarkan satu dua lagu dan ternyata suara mereka ada yang bagus," ujarnya.
Hartati menyadari tidak mudah mendidik anak-anak berkebutuhan khusus, namun tidak juga terlalu susah. Ia mengatakan, anak-anak berkebutuhan khusus memiliki karakter khusus juga, tidak sama satu anak dengan lainnya.
Pendekatan yang ia lakukan adalah pendekatan individu, namun di atas segalanya adalah kasih sayang. Anak-anak perlu dibuat akrab dengan guru. Jika sudah akrab, mereka menganggap guru sebagai orangtua mereka.
Hartati mengatakan, menjadi pendidik anak-anak berkebutuhan khusus tidak ada dukanya. Bahkan, dalam merawat fasilitas sekolah, ia merasa terbantu oleh keberadaan anak-anak berkebutuhan khusus ini, karena anak-anak SD LB umumnya sudah berumur, sehingga mereka dapat ikut membantu pekerjaan sekolah seperti menyapu, membersihkan kamar mandi, dan berbagai pekerjaan lainnya yang tidak bisa dikerjakan oleh anak-anak sekolah dasar yang normal.
Hartati menyadari bahwa pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus masih jauh dari harapan. Indikator ini ditunjukkan dengan masih terbatasnya jumlah guru Pendidikan Luar Biasa berstatus pegawai negeri sipil. Kekurangan guru PLB ini, kata Hartati, dibantu oleh keberadaan guru tidak tetap atau guru honorer.
Apa yang menjadi kebanggaan Hartati? "Kalau anak-anak didik saya senang itu yang menjadi kebanggaan saya. Misalnya, anak yang semula tidak mau berkomunikasi, kemudian mau berbicara dengan temannya atau dengan orang lain, ini menjadi kebanggaan saya," katanya.
Mengenai keluarga, Hartati mengatakan, keluarganya sangat mendukung pekerjaannya sebagai guru anak-anak berkebutuhan khusus. Mereka tidak merasa malu, bahkan sering membantu dirinya saat mengunjungi sekolah tempatnya mengajar.
Sumber : antaranews.com
Diposting kembali Supermap Mindmap Learning Center
www.supermap.asia
0 comments:
Posting Komentar